Selasa, 13 September 2022

Koneksi Antar Materi, Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1

Oleh : Agung Setiawan, CGP Angkatan 6 Dari SMP Negeri 12 Tegal


Biografi singkat Ki Hajar Dewantara


Ki Hajar Dewantara memiliki nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang lahir pada hari Kamis tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara merupakan seorang priyayi atau bangsawan dari Kraton Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara mengenyam Pendidikan Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Belanda. Setelah tamat dari ELS, masuk ke Kweekschool, sebuah sekolah guru di Yogyakarta. Beliau juga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dokter Jawa di Jakarta atau STOVIA (School tot Opleiding Van Indische Artsen) namun tidak tamat. Ki Hajar Dewantara pernah menjadi jurnalis di Surat Kabar Bahasa Jawa “Sedyotomo”, Surat Kabar Bahasa Belanda “Midden Java di Yogyakarta, dan “De Express” di Bandung. Bahkan beliau pernah menjadi anggota Redaksi Harian “Kaoem Muda” Bandung, “Oetoesan Hindia” Surabaya, “Tjahaja Timoer” Malang. Beliau juga pernah bergabung dengan beberapa organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.

Trah keluarga, pendidikan, pengalaman hidup dan dengan latar belakang masa kolonial Belanda, menempa Ki Hajar Dewantara menjadi seorang pemikir dan sekaligus praktisi pendidikan dengan mendirikan Sekolah Taman Siswa yang menginginkan anak-anak pribumi mendapatkan pendidikan yang layak, yang memberikan kemerdekaan anak didiknya agar dapat tumbuh kembang menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya.


Pemikiran Filosofi Ki Hajar Dewantara


Adapun pemikiran filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara sebagai berikut:
Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Pendidikan menjadi tempat berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan. Pendidikan adalah memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia pribadi, anggota masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidik harus dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada diri anak, memiliki nilai-nilai luhur Pancasila sesuai karakter bangsa. Pendidikan yang dimaksud mengarah pada terwujudnya Profil Pelajar Pancasila yang memiliki enam ciri utama, yaitu : beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa dasar pendidikan anak berhubungan erat dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan dimana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama” yang dihadapi anak di masa kini  dan di masa yang akan datang. Pendidik diibaratkan petani yang tugasnya merawat sesuai kebutuhan bibit tanaman agar tumbuh kembang dengan baik. Pendidik harus pula membekali anak dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai zamannya, agar  mereka dapat survive dan bahkan dapat memberikan manfaat bagi dirinya maupun orang lain. Pendidik sebagai Pamong harus bisa melayani segala bentuk  kebutuhan belajar siswa yang berbeda-beda (hal ini berorientasi pada anak) melalui konten pengetahuan, media dan metode pembelajaran. Pendidik harus bisa memberikan kebebasan kepada anak untuk mengembangkan ide, berfikir kritis, kreatif, dan inovatif serta dapat mengembangkan bakat, minat dan kebutuhan sesuai dengan kekuatan kodrat anak yang dimilikinya (hal ini sesuai dengan konsep merdeka belajar). (mengacu pada kecakapan Abad 21) agar mereka bisa hidup, menyesuaikan diri dan dapat berkarya bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang berazaskan Pancasila.

Patrap Triloka merupakan semboyan yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi, "Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani". Jika diartikan, "Di depan bisa menjadi teladan, di tengah bisa memberikan ide dan semangat, dan di belakang bisa memberikan dorongan". Patrap Triloka inilah sebagai jabaran sistem Among dari sekolah Taman Siswa yang kemudian digunakan dalam pendidikan nasional Indonesia. Disini pendidik harus bisa menghormati dan memperlakukan anak dengan sebaik-baiknya sesuai kodrat yang dimiliki anak, melayani mereka dengan setulus hati, memberikan teladan, membangun semangat dan memberikan dorongan bagi tumbuh kembang anak. Menuntun mereka menjadi pribadi yang terampil, berakhlak mulia dan bijaksana sehingga mereka akan mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang setinggi-tingginya.

Menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Keselarasan hidup anak harus dilatih melalui pemahaman kesadaran diri, baik tentang kekuatan dirinya, kemudian dilatih mengelola diri agar mampu memiliki kesadaran sosial bahwa ia tidak hidup sendiri dalam relasi sosialnya, sehingga ketika membuat sebuah keputusan bertanggungjawab dalam kemerdekaan dirinya dan kemerdekaan orang lain. Implementasi dalam pendidikan dapat melalui pembiasaan-pembiasaan yang baik dimulai dari pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Berhamba kepada sang anak, merupakan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang paling esensial. Pendidikan dan pendidik harus memandang anak dengan rasa hormat, semua berorientasi pada anak. Hal ini sesuai azas Sekolah Taman Siswa, yaitu : “Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak meminta sesuatu hak, namun untuk berhamba kepada sang anak”. Pendidik harus membuang jauh-jauh egosentris yang selama ini disandang, seperti guru harus dihormati oleh anak didik. Hal ini seolah bertolak belakang dengan hakekat guru sebagai seorang pendidik yang harus memberikan layanan pendidikan. Kata “dihormati” yang disandang pendidik kadang menjadikan sikap otoriter dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap aturan main guru, apalagi menganggap anak  butuh “nilai” dari sebuah pengajaran.


Refleksi Diri


Sebelum mempelajari pemikiran filosofi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan secara mendalam, saya masih menggunakan madzab pendidikan orang-orang barat dimana pendidikan merupakan sebuah proses pengajaran bagaimana pengetahuan dan ketrampilan dapat diterima dengan baik oleh anak didik sebagai bekal hidup nantinya. Sehingga dalam proses pengajaran yang saya lakukan hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan hidup agar anak siap menghadapi masa depannya. Orientasi yang dikembangkan anak didik mampu menguasai materi yang saya berikan dengan iming-iming nilai A dengan predikat memuaskan. Tidak mempedulikan anak memiliki feeling dan passion yang berbeda-beda, yang terpenting materi tersampaikan sesuai dengan tuntunan kurikulum. Apalagi saya mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang memiliki materi begitu banyak dengan waktu yang terbatas, sehingga saya menggunakan model-model pembelajaran sesekali waktu saja, padahal dengan model-model pembelajaran beragam dapat memberikan kesempatan anak didik saling bekerja sama, hormat menghormati, menggali potensi diri dan memberikan rasa nyaman dan aman. Bahkan boleh dibilang ekstrem, saya sering memberi tugas rumah untuk diselesaikan. Yah jika hanya saya saja yang memberikan tugas rumah, apa jadinya apabila setiap guru memberikan tugas rumah yang sama, betapa terbebani anak, anak tidak merasa nyaman, kesempatan bersosialisasi dengan anggota keluarga dan masyarakat juga semakin berkurang. Pembelajaran seperti ini saya kita masih berpusat pada guru.

Setelah mempelajari pemikiran filosofi Ki Hajar Dewantara, saya mulai terbuka dan menyelaraskan pemikiran filosofi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan. Yang biasa saya cuek, tegas dan jaga jarak dengan anak didik, saya mulai mencoba mengenali diri anak didik dan mengetahui lebih banyak lagi dalam pembelajaran saya. Langkah yang pertama saya gunakan yaitu dari hal-hal yang ringan, dengan menanyakan kondisi kesehatan dan keluarga, baik dilakukan secara klasikal maupun pribadi-pribadi, barulah bertahap menanyakan kesulitan belajar yang dihadapi. Hal ini saya lakukan agar anak didik merasa sekolah dan guru merupakan rumah dan orangtua kedua, ketika ini sudah didapat maka mudah sekali terjadi komunikasi dua arah bahkan multi arah. Tidak lupa juga saya sisipkan pendidikan budi pekerti baik melalui contoh diri yang baik, cerita singkat ataupun melalui sisipan film pendek. Dengan pendidikan budi pekerti yang baik akan tumbuh kembang dalam diri anak didik yang kemudian diharapkan dapat menyelamatkan diri dari tingkah laku yang buruk, yang akan mencelakaan anak didik nantinya. Saya mulai belajar mendengarkan dan mengetahui keinginan anak, dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Anak didik saya sebagian besar dari masyarakat nelayan dan buruh, mereka dari keluarga tidak mampu. Anak-anak jarang sekali berkumpul, bercengkrama bersama keluarga, bahkan terkesan membiarkan anak lepas dari pendidikan keluarga, sehingga di sekolah tingkah laku mereka seperti liar, kurang adab sopan santun dan budi pekerti yang kurang baik. Disinilah saya tergugah pemikiran filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, dimana saya harus menuntun mereka, menebalkan garis samar kodrat alam, melatih ketrampilan hidup abad 21 sesuai kodrat zaman dengan kesabaran dan kelembutan hati tingkat tinggi. Menjadi pribadi yang berubah bukanlah keniscayaan, dalam mengalami perubahan itu karena keadaan dan kemauan. Jika dahulu saya seolah-olah serba bisa, menjadi pusat belajar dan memaksa hak guru “dilayani” karena anak butuh nilai, maka dengan berpijak dari pemikiran filosofi Ki Hajar Dewantara, saya sebagai pendidik secara sadar harus melakukan perubahan sikap dan mental, mendidik berarti menuntun serta melayani anak didik dengan sepenuh hati. Saya mulai menyenangi, menikmati dan merasakan kebahagiaan dalam pembelajaran bersama anak didik, tentang pertanyaan, keluhan, celotehan, candaan bahkan curhatan mereka. Benar-benar saya ingin selalu dekat dengan anak-anak didik saya, dan saya berusaha dirindukan anak didik dalam pembelajaran.

Apa yang telah saya upayakan dalam merencanakan pembelajaran di kelas anak didik merasa senang, nyaman dan aman. Tindakan nyata, dengan berpakaian rapi diawal proses pembelajaran saya didahulukan kebiasaan baik, seperti memberi salam, berdoa, bersyukur, menyisipkan pembelajaran budi pekerti dengan cerita singkat, tebak gambar, puisi, dan/atau memutarkan film. Dalam proses pembelajaran selanjutnya menekankan kerjasama/kelompok, ruang diskusi, memberi kesempatan anak menyampaikan hasil kerjasama/kelompok, memberikan apresiasi, dan melakukan refleksi pembelajaran. Saya akan menggunakan media-media pembelajaran yang mudah dipahami anak, tidak hanya menggunakan ruang kelas, namun dapat memanfaatkan ruang lain untuk pembelajaran, seperti : ruang perpustakaan, ruang serba guna, kebun sekolah, bantaran kolam ikan, museum, pasar, tempat wisata terdekat. Hal ini agar anak merasa nyaman dan tidak lekas bosan dalam proses pembelajaran saya. Saya juga akan melakukan  materi kolaborasi dengan teman sejawat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain dengan teman sejawat, saya akan mengkomunikasikan permasalahan yang dihadapi anak dengan orang tua mereka agar segera ditemukan formula yang mendekati tepat menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga tidak berlarut-larut.